Mendengar kapal Irlandia bernama Rachel Corrie yang mengikuti jejak "Freedom Tortilla" yang mengirimkan bantuan kepada Palestina di Gaza, saya teringat dengan peristiwa yang terjadi tahun 2003. Nama kapal tersebut diambil dari nama seorang aktivis kemanusiaan bernama Rachel Corrie. Rachel Corrie lahir ditengah keluarga Kristen yang taat. Sejak kecil dia memang berbeda dengan kebanyakan anak-anak seusianya pada umumnya karena dia telah memberikan pandangan hidup tentang kemanusiaan. Hal ini terlihat pada saat Rachel masih dikelas 5 SD, dia berpidato tentang kemanusiaan dengan judul "I'm Here Because I Care".
Mengutip beberapa sumber, Rachel pernah bergabung dengan beberapa LSM kemanusiaan dengan tujuan Merdeka menentang penjajahan dibeberapa negara. Suatu saat, Rachel mempelajari informasi tentang konflik Palestina dan Israel, kemudian berkesimpulan bahwa masih ada penjajahan besar terjadi dibumi Palestina oleh Israel. Pada saat hendak berangkat ke Palestina, Ibu Rachel bertanya “Rachel, untuk pergi ke Palestina, kewajibankah? Tak seorangpun menyalahkanmu untuk mengurungkan niat itu,”. Rachel pun menjawab, “Barang-barang sudah kukemas. Rasa takut itu manusiawi. Tapi kupikir, melakukannya tak mustahil. Harus kucoba, Mam.” Seatraktif apapun bujukan keluarganya, niat Rachel tak tergoyahkan.
Rachel berangkat ke Israel untuk transit ke Tepi Barat pada Januari 2003, dan setelah tiba, dia langsung bergabung bersama International Solidarity Movement (ISM) yang terdiri dari wqarga Jerman, Inggris, Italy, dll. Pergerakan ini hanya memiliki dua syarat partisipasi: Pertama, anggotanya harus yakin bahwa bangsa Palestina berhak merdeka berdasarkan hukum internasional dan resolusi PBB, dan kedua anggotanya hanya menggunakan cara tanpa kekerasan untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa Palestina.
Ketika tiba di Rafah, Rachel saksikan tank, bulldozer, menara-menara sniper dan pos-pos penggeledahan Israel terdapat diantara dan dibangun dipuing-puing bekas pemukiman penduduk Gaza. Tembok baja raksasa dibangun di reruntuhan dekat perbatasan Mesir. Dia banyak melihat hal seperti penderitaan orang-orang Palestina yang bertahan meski penindasan terus berlangsung. Warga Palestina yang dilihatnya berwajah lusuh dan menjalani hidup serba kekurangan, menderita dan menunggu giliran direnggut maut. Itulah kisah Rachel pertama saat pertama tiba di Palestina kepada Craig Corrie, Ibunda Rachel Corrie. Pada saat menelpon ibunya dari rumah seorang Palestina tempat dia tinggal, Rachel berujar kepada ibunya “Bisakah kau dengar itu…? Bisakah kau dengar itu…?” Dia menggambarkan betapa bunyi-bunyi ledakan nyaris tak berjedah diselingi suara peluru-peluru yang dimuntahkan.
Rachel mampu berbahasa Arab awalnya adalah dia mengasuh anak yatim massal Palestina dalam naungan Children’s Parliament. Di Rafah, Rachel dan anggota kemanusiaan lainnya menjadi benteng hidup, berdiri mengelilingi pekerja air kota Palestina yang menggali sumur. Dia hadang moncong laras panjang sniper-sniper militer Israel yang berada di menara benteng. Rachel dan rekan-rekan lainnya terus berdiri mengelilingi sumur-sumur yang sedang digali para pekerja hingga lewat tengah malam. Demi setetes air agar basahi tenggorokan pengungsi Palestina yang terkurung sejak lama di bui Gaza. Hanya itu satu-satunya cara, setelah kebun zaitun penduduk Palestina dilindas buldoser-buldoser tentara IDF (tentara pertahanan Israel), setelah tentara-tentara Israel menimbun sumur-sumur dengan puing-puing rumah penduduk.
Pada suatu kesempatan lain, Rachel menghadang tentara IDF yang hobi meluluhlantak pemukiman penduduk Palestina terutama Gaza. Rachel sengaja menghuni rumah penduduk yang menjadi incaran buldoser-buldoser Zionis-Israel. Rachel sadar, hak hidup merdeka milik semua bangsa, termasuk bangsa Palestina. 16 Maret 2003, dua bulldoser dan tank-tank Israel melaju kencang di jalanan Hi Salam, Rafah, Jalur Gaza, perbatasan Mesir menuju rumah-rumah penduduk Palestina. Satu buldoser dikendarai operator, dipandu seorang tentara yang berhenti tepat di depan rumah Nasrallah, salah satu keluarga di Rafah. Sudah beberapa hari Rachel tinggal di dalamnya. Bukan sekedar menumpang tidur, tapi Rachel sengaja menghendaki tentara IDF mengurungkan niat membongkar rumah itu karena keberadaannya. Juga, Rachel menegaskan tekadnya untuk bersama warga Palestina memperjuangkan kemerdekaan.
Kesan seram ini dipotret Rachel melalui e-mail yang dikirim kepada Mamanya: Dua kamar depan rumah mereka tak dapat digunakan. Dinding-dindingnya hancur ditembus peluru Israel. Seluruh anggota keluarga; tiga anak dan dua pasang suami istri tidur di ruang tengah. Aku tidur di lantai bersama anak perempuannya, Iman dalam satu selimut.
Sekitar jam 5 sore, buldoser meraung-raung meminta tumbal. Saat melintas, rantai roda baja itu menyemburkan onggokan tanah kering hingga menimpuk aktivis-aktivis yang menjadi benteng hidup rumah warga Gaza itu. Seorang aktivis Amerika terlempar berguling-guling sebelum akhirnya tersangkut di kawat berduri dan seorang aktivis Inggris terjepit dinding. Buldoser D9R Israel siap melindas rumah itu, Rachel bergegas lari menghampiri. Dia tahu, keluarga Nasrallah berada di dalamnya. Dia hadang buldoser itu selayak Polantas menghentikan mobil di jalan raya. Aksi ini biasa dilakukan aktivis ISM sebelumnya.
Buldoser Israel tak berhenti. Aktivis-aktivis ISM lain menjerit histeris melambai-melambaikan tangan. Mereka ketakutan. Raungan buldoser menindih semua suara. Melihat D-9R semakin bergairah menyeruduk, Rachel berupaya memanjat gundukan tanah yang dikeruk pisau buldoser agar tak tertelan. Posisi Rachel di atas gundukan itu cukup tinggi, pasti tentara IDF yang mengoperasikan kendaraan baja itu melihatnya. Tapi serdadu itu tetap tancap gas. Rachel terbanting kemudian terseret pisau Bulldozer. D9R terus melaju. Rantai-rantai baja bergemeretak melindas Rachel, kemudian mundur. Tersisa tubuh hancur Sang gadis Olympia.
Saksi mata mengatakan, sopir buldoser Israel sengaja melindas Corrie karena saat itu posisi Corrie terlihat jelas dan mengenakan jaket warna oranye menyala. Namun laporan militer Israel yang dirilis pada bulan Juni 2003 menyebutkan apa yang terjadi pada Corrie adalah “kecelakaan”.
Teman-teman Rachel bergegas menghampiri. Rachel masih hidup kala itu. Dia sempat berkata, “Sepertinya punggungku remuk.’’ Tak lama ambulan Palestina datang. Saat itu dipastikan tiada harapan hidup bagi Rachel. Gadis berambut pirang itu dinyatakan meninggal beberapa saat setelah tiba di rumah sakit lokal.
Sayang, Rachel Corrie berada di pihak yang “salah.” Dia mati dilindas buldoser Israel. Karena alasan itulah pemerintahnya (Amerika Serikat) mendiamkan dan menghentikan kasusnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar